Minggu, 29 Maret 2015

JEFF THE KILLER FINAL: THE TRIUMPH OF EVIL – CHAPTER 05 (ORIGINAL SERIES)












Jenna masih berlari bersama Theo menyusuri lorong.

“Theo ... berhenti. Kumohon ... aku lelah.”

Theo akhirnya berhenti, namun masih memohon pada gadis itu, “Kita harus terus berlari. Pembunuh itu ada di belakang kita!”

“Theo, apa kau melihat siapa yang membunuh Brian?”

“Tidak. Saat itu gelap bukan?”

“Ba ... bagaimana dengan yang lain?”

“Ah, persetan dengan mereka. Jenna ... dengarlah! Kumohon maafkan aku.”

Jenna menatapnya dengan wajah sendu, “Tak apa-apa Theo. Aku tahu ini semua salahku. Aku terlalu dibutakan oleh perasaanku pada Leo sehingga .... sehingga aku melupakanmu.”

Theo menatapnya, “Tidak! Ini bukan salah siapa-siapa. Dengar, kita akan keluar dengan selamat dari sini, mengerti!”

“Apa ... apa kau pikir itu Jeff?”

“Aku sama sekali tak percaya dengan segala omong kosong tentang Jeff ini. Jeff sudah mati, titik! Mungkin saja pelakunya Leo atau Mark.”

“Kenapa mereka melakukan ini? Kenapa mereka membunuh Brian dan Jake?”

“Entahlah! Kau tahu kan segila apa mereka? Kita benar-benar harus pergi sekarang, Jen!

Tiba-tiba mereka mendengar suara gemeretak di dinding. Seolah-olah sesuatu yang sangat banyak akan melewati mereka.

“Apa ... apa ini?”

Di tengah kegelapan lorong di depan mereka tampa ratusan mata merah tengah mengintai.

Jenna menggenggam tangan Theo, “Theo ... itu ...”

“Lari Jen .... LARI!!!”

Dan mereka segera berlari secepat mungkin ketika ribuan tikus menyerbu mereka dari lantai.

***



Leo, Mark, dan Jessica berlari secepat mungkin menyusuri lorong.

“Di sini! Ini jalan keluarnya!”

Namun Jessica menjerit begitu melihat pintu depan telah dirantai dan digembok.

“Brengsek! Siapa yang melakukan ini!” seru Mark.

“Ada yang berusaha mengurung kita di sini!” kata Leo dengan putus asa. “Jess, coba handphone-mu! Kau bisa menelepon seseorang?”

Jessica memencet handphone-nya, namun kemudian membantingnya begitu saja ke lantai, “Sial! Percuma ... tak ada sinyal!”

“Mark, apa ini satu-satunya jalan keluar dari sini?”

“Kurasa iya. Sialan! Siapa keparat yang melakukan ini semua?”

“Aku yakin ini perbuatan Theo!”

“A .. atau mungkin Jeff ... Jeff The Killer ...” wajah Jessica memucat.

“Jangan bodoh, Jess! Jeff The Killer sudah mati. Siapapun yang melakukan ini tahu kita ada di sini dan sudah merencanakannya.”

“Bagaimana jika ... Jeff memang tinggal di sini.”

Mark dan Leo menatap Jessica.

Mata mereka terbelalak.

“A ... ada apa? Kenapa kalian melihatku seperti itu?”

Leo menunjuk ke belakang Jessica. Namun sebelum gadis itu sempat menoleh, seutas tangan langsung membekap mulut gadis itu.

Ia mencoba meronta. Tangannya terulur ke depan, mencoba meraih Leo, kekasihnya.

“Tolong aku ... tolong aku, Leo!” jeritnya dalam hati.

Namun Mark dan Leo langsung berlari melihat kejadian itu.

Jessica melihat Leo berbalik sebentar, memandang gadis itu.

“Leo ... jangan tinggalkan aku ...”

Namun pemuda itu memutuskan berbalik dan menyusul Mark.

Dari pantulan pintu kaca di depannya, Jessica bisa melihat siapa yang menawannya dari belakang.

Ia memiliki wajah Jeff The Killer.

***



Liu tersadar dan hanya menatap kegelapan di depannya. Ia mulai membiasakan matanya dengan kegelapan dan melihat lebih jelas.

“Marshall, dimana kau?” serunya.

Liu melihat ke sekeliling. Ia sadar ia masih berada di dalam asylum.

Siapa tadi yang memukulku? Liu meraih ke belakang kepalanya. Sakit sekali, namun untunglah tak ada darah.

“AAAAAAAAA!!!”

Liu mendengar jeritan seorang gadis.

“Siapa itu?” bisiknya kepada dirinya sendiri.

Ia mencoba mencari senjata dan menemukan sebuah batang besi di dekatnya. Iapun mengambilnya dan berjalan mengendap-endap menuju arah suara itu.

***



“Maaf, aku lama. Ada urusan yang harus kuselesaikan.” sosok bertopeng itu kembali masuk ke dalam ruangan. Jessica tak tahu dimana ia berada, namun ia terendam dalam air. Tubuhnya terikat dan ia melihat pria bertopeng Jeff itu menarik meja dorong berisi peralatan elektronik. Jessica pernah melihatnya di televisi. Alat-alat itu seperti mengukur denyut jantung dan menampikannya di layar dalam bentuk grafik garis.

Sosok bertopeng Jeff itu menyalakan alat itu dengan menancapkan stekernya ke dalam stop kontak.

“Ini adalah kolam terapi.” kata pembunuh itu dengan suara berat yang menakutkan, “Mereka biasanya menggunakannya untuk terapi kejiwaan. Kau tahu apa yang mereka lakukan di sini? Mereka akan membenamkan kepala pasien di dalam air hingga mereka sadar dari penyakit jiwa mereka.”

Wajah menyeringai itu menatap dengan haus darah ke arah Jessica, “Sayang sekali itu justru akan membuat mereka semakin gila.”

“Lepaskan aku!” Jessica menangis, “Mengapa kau lakukan ini pada kami?”

“Aku selalu mengawasi kalian. Aku tahu apa yang kalian lakukan malam itu. Memfitnahkan semuanya pada Jeff ... benar-benar ide yang menarik ...”

“Maafkan kami! Kami takkan melakukannya lagi, kumohon ...”

“Tentu saja kalian takkan mengulanginya lagi ... sebab kalian semua akan mati malam ini!”

Gadis itu menjerit dan meronta dalam air, namun percuma. Ia terikat erat.

“Jangan khawatir, aku takkan memperlakukanmu seperti para pasien di sini. Aku akan mencoba cara berbeda.”

“Tidak!!! Lepaskan aku! Lepaskan!!!”

Namun si pembunuh misterius itu tampaknya tak menaruh sedikitpun belas kasihan pada gadis itu. Ia mengangkat mesin yang tadi dinyalakannya dan membantingnya ke dalam air. Cahaya yang amat terang namun sangat singkat memercik ketika alat itu menyetrum tubuh Jessica di dalam air.

Sang pembunuh itu tampak puas dengan hasil pekerjaannya ketika melihat gadis itu kini tenggelam tak bernyawa di dalam bak.

Namun kepuasannya itu membuatnya lengah. Tanpa ia sadari, seorang pemuda mengendap-endap di belakangnya dan memukulkan batang besi ke arahnya.

Pemuda itu adalah Liu.

“Brengsek, kau bukan Jeff!” seru Liu, “Siapa kau? Siapa???”

***



“Theo! Dimana kamu!” jeritan Jenna menggema di lorong rumah sakit, “Jawab aku!'

Gara-gara serbuan ribuan tikus tadi, ia terpisah dengan Theo. Ia tak bisa menemukan jalan keluar dari sini dan iapun tak mau pergi tanpa sahabatnya itu.

“Theo?” Jenna mendengar suara hantaman yang amat keras. Terdengar seperti seseorang berusaha menggedor-gedor pintu.

Jenna mencari arah suara itu. Asalnya dari sebuah pintu yang tampak terkunci dari luar. Sebuah palang besi menghalangi pintu itu agar tidak terbuka.

“Siapa di situ?” Jenna mendekat.

Tiba-tiba seutas tangan mencengkeram bahunya.

“AAAAAAAAAAA!!!!” jerit Jenna.

“Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini?” seru pemuda itu. Jenna tak pernah melihatnya, namun pemuda itu tampaknya tak berusaha menyakitinya.

“Aku dan temanku terpisah. Siapa kau?”

“Kita harus pergi.” pemuda itu menoleh ke samping, seolah-olah takut seseorang akan muncul, “Jeff kemungkinan ada di sini.”

“Siapa kau? Dan siapa yang kau kurung di dalam ruangan itu?”

“Pria yang ada di dalam sana berusaha membunuhku,” kata pemuda itu sambil menatap mata Jenna, “Namaku Michael.”

“Astaga, kau adik Jeff? Ke ... kenapa kau ada di sini?”

“Untuk mengakhiri segalanya. Ayo, kita harus segera mencari jalan keluar dari sini!”

“Tidak!” kata gadis itu tegas, “Aku harus mencari Theo, temanku!”

“Itu terlalu berbahaya, Nona! Kau bisa terbunuh!”

“Aku tak peduli! Aku harus menemukannya dulu!”

Pemuda itu menghela napas, “Baiklah, tapi tetap di dekatku, oke?”

***



Sosok di dalam kamar itu terus mencoba mendobrak pintu ruangan itu.

“Aku harus keluar dari sini! Tugasku belum selesai!” bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia terus mendobraknya.

“Aku belum selesai!!!!”

“BRAAAAAAK!!!!”

Dan pintu itupun terbuka.

***



Mark akhirnya berhenti berlari. Ia kabur seperti kesetanan, hingga tanpa sadar ia sudah terpisah dengan Leo.

“Leo? Kau dimana?” serunya. Namun ia hanya mendengar gaung dari suaranya sendiri.

“Ah, persetan!” pikirnya. Biarkan saja ia mati di sini.

Mark melihat ke sekelilingnya. Hanya ada dinding batu bata di sana, namun tunggu! Terlihat bekas kebakaran yang cukup hebat di sini. Sepertinya api merembet cukup besar di daerah ini dan meninggalkan kerusakan struktur di sini.

“Apa ini?” Mark melihat sebuah lubang di dinding. Beberapa bagian batu batanya tampak terlepas. Mark melongok ke dalam lubang itu. Sepertinya lubang ini menyambung ke ruang bawah tanah. Mungkin saja ia bisa keluar dari sini.

Ia menyingkirkan beberapa batu bata agar ia bisa masuk ke lubang itu. Gelap dan dingin di sana, namun tak masalah, asalkan ia bisa keluar dari sini.

Iapun melangkahkan kakinya masuk ke dalam lubang itu.

Namun tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu merayap di kakinya, diikuti rasa sakit, seperti gigitan kecil.

“Aaaww, apa ini?' Mark buru-buru mengambil handphonenya dan mengarahkan sinarnya ke ke kakinya.

“AAAAAAA!!!” ia berteriak ketika melihat kakinya menginjak ribuan ekor semut. Koloni semut menutupi permukaan lantai hingga ke mata kakinya. Beberapa masuk dan mrayap masuk ke dalam celana Mark. Dan dalam waktu singkat, mereka telah sampai di bagian atas tubuh pemuda itu.

Mark berusaha bersandar pada dinding, namun tangannya hanya menemukan lebih banyak semut di sana. Mereka menghampar bak lumut menutupi dinding.

Mark berusaha keluar menuju lubang darimana ia masuk tadi, namun sesosok bayangan hitam telah menunggunya di sana.

“Mereka adalah marabunta ... pasukan semut yang hidup di bawah tanah.” bisiknya, “Aku telah lama berteman dengan mereka. Mereka sudah tinggal di sini lama ... jauh sebelum aku tinggal di sini. Mereka sepertiku .... memakan apa saja yang bisa mereka temukan.” wajah itu menyeringai bak iblis, “Dan kau akan jadi hidangan lezat bagi mereka.”

“Tidaak! Tidaaaaak!” tangan Mark mencoba menggapai keluar, namun gigitan semut-semut itu semakin melumpuhkannya. Ia jatuh terjerembap ke lantai dan ribuan semut mulai merayap menaiki tubuhnya.

Ia melihat cahaya semakin lama semakin melemah. Sang pembunuh itu rupanya mulai menyegel lubang di dinding itu dengan batu bata.

“Tidaaaak! Kumohon ... lepaskan aku! Aku punya banyak uang!!!”

Semut-semut itu semakin garang menghabisinya. Ratusan dari mereka mulai masuk ke dalam tubuh Mark melalui lubang-lubang di wajahnya: mulut, hidung, dan telinga.

“Ti ..... daaak ....”

Dan batu bata terakhir pun diletakkan, menutup lubang di dinding itu untuk selamanya.

***



“Theo! Dimana kau!” jerit Jenna. Namun hanya gaung suaranya yang menjawabnya kembali.

“Dengar, Nona! Kurasa berteriak bukanlah ide yang baik. Itu akan membuat Jeff lebih mudah menemukan kita.”

“Bukankah kau sudah mengurung Jeff di dalam sana?” gadis itu menoleh.

“Itu bukan Jeff. Siapapun itu, dia jelas bukan Jeff. Dan Jeff pasti masih ada di dalam sini.”

“Hei, apa kau mendengar itu?” Jenna memasang telinganya.

Terdengar suara isakan. Suara itu sangat pelan dan sayup-sayup terdengar.

“I ... itu suara perempuan. Masih ada yang hidup di sini!”

Jenna segera berlari menuju ke arah suara itu.

“Nona, tunggu!” pemuda itu berusaha menghentikannya, namun percuma.

Jenna melongok ke sebuah kamar dan terkejut melihat seorang gadis tengah meringkuk, bersembunyi di sana.

“Si ... siapa kau?'

Gadis itu sedikit mendongak ke arah Jenna. Rambutnya yang kust dan acak-acakan menutupi sebagian wajahnya, namun Jenna masih bisa mengenalinya.

“Astaga ... Christine! Apa yang terjadi padamu?”

Jenna segera menghampirinya, namun gadis itu menjauh dan tampak ketakutan.

“Jangan takut! Ini aku, Jenna! Apa kau tak ingat padaku? Kita satu sekolah.”

Gadis itu hanya menatapnya. Ia tak berbicara atau bahkan mengeluarkan suara sedikitpun. Pastilah ia merasa sangat trauma dengan apapun kejadian yang baru saja menimpanya.

“Christine, ayo! Kita pergi dari sini!” Jenna mengulurkan tangannya. Butuh waktu bagi gadis itu untuk mempercayai Jenna dan menerima uluran tangannya.

“Baguslah jika kau sudah menemukan temanmu.”

Jenna menoleh, “Bukan dia yang kumaksud, namun Theo. Aku tak tahu bagaimana dia bisa sampai di sini, namun adiknya terbunuh. Aku harus membawanya keluar dari sini.”

“Kita tak ada waktu lagi untuk mencari temanmu yang satunya, Nona! Kita harus ...”

“DOOOR!!!”

Perkataannya terpotong dengan suara tembakan yang jelas terdengar dari ujung lorong.

“Sial. Pistol itu!”

***



Leo jatuh tersungkur ke tanah. Perutnya berlumuran darah. Ia tersengal-sengal sejenak sebelum akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir.

Seseorang berdiri di depannya, masih mengacungkan pistol yang berasap.

“Theo?”

Ia menoleh dan terkejut melihat Jenna berada di belakangnya bersama dua orang lainnya.

“Jenna ... ini tak seperti yang kau pikirkan!”

“Theo! Apa yang kau lakukan?” jerit Jenna, “Kenapa kau membunuh Leo?”

“Dia ... dia yang memaksaku menembak. Ia mengira aku membunuh yang lainnya. Ia berusaha membunuhku ... aku hanya membela diri.”

“Jangan percaya dia! Mungkin saja memang benar dia yang membunuh teman-temanmu yang lain!”

“Siapa dia!” Theo mengacungkan pistol itu ke arah pemuda yang bersama Jenna.

“Jangan, Theo!” seru Jenna, “Dia ada di pihak kita. Dia adalah adik Jeff.”

“Turunkan pistolmu! Jika kami memang bisa mempercayaimu, berikan pistol itu kepadaku!”

Theo tampak ragu.

“Kumohon, Theo! Jika memang bukan kau pelakunya, buktikan pada kami!”

Tangan Theo gemetar, namun akhirnya ia menurunkan pistol itu dan menyerahkannya pada mereka.

“Aku yang akan menyimpan ini. Jenna, kurasa jalan keluar ada di sana. Ajak teman-temanmu!”

Jenna dan yang lainnya mengikuti langkah pemuda itu. Namun langkah mereka terhenti ketika mereka menemukan percabangan di depan mereka.

“Lewat mana sekarang?”

“Sial, jalan keluar harusnya ada di salah satu percabangan ini. Jenna, kau dan gadis itu ambil jalan sebelah kiri. Sementara aku dan Theo akan mencoba jalan sebelah kanan.”

“Apa? Kenapa kita harus berpisah?” protes Jenna.

“Aku yang akan bersama Jenna! Dia membutuhkan seseorang untuk menjaganya!” kata Theo.

“Tidak! Kau ikut denganku! Kami belum bisa benar-benar mempercayaimu! Tak aman jika kau berada bersama salah satu gadis ini. Jenna, apa kau butuh pistol ini?”

Jenna menggeleng, “Tidak. Aku tak bisa menembak. Gunakan saja jika kau bertemu Jeff.”

“Baiklah, berteriaklah jika kau menemukan sesuatu.”

Dengan berat hati, Jenna menggandeng Christine untuk berjalan ke lorong berlawanan dengan Theo. Ia sebenarnya tak ingin melakukan ini, namun sepertinya ini adalah satu-satunya cara agar mereka bisa menemukan jalan keluar dari tempat terkutuk ini.

“Kita akan baik-baik saja, Christine.” kata Jenna. Namun gadis itu tidak tahu, apakah ia berusaha menenangkan Christine ataukah dirinya sendiri.

Namun ternyata jalan yang ditelusuri Jenna buntu. Ia hendak berbalik, namun ia tertarik ketika tanpa sengaja melihat isi sebuah ruangan yang terbuka.

Ruangan itu penuh dengan gambar Jeff.

“Christine, tak apa-apa kan jika kau menunggu di sini? Aku harus memeriksa sesuatu.”

Gadis itu mengangguk pelan.

Jenna masuk ke dalam ruangan itu. Sepertinya ini adalah ruangan salah satu pasien rumah sakit jiwa ini.

Gila, sepertinya pasien yang mendiami ruangan ini sangat terobsesi dengan Jeff The Killer.

Gambar Jeff tertempel di dinding bak mading. Semua artikel koran mengenai aksi Jeff semuanya lengkap, bahkan berita yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Namun Jenna tertarik pada kumpulan foto yang terpajang di dinding.

Foto dengan keterangan di bawahnya: “Keluarga Jeff”.

Ada foto Jeff saat kecil bersama kedua orang tuanya.

Ia tampak seperti anak yang polos di gambar ini. Apa yang menyebabkan ia berubah menjadi pembunuh sadis seperti ini?

Namun Jenna tersentak melihat gambar yang berada tepat di bawahnya.

“Foto Jeff dan adiknya, Liu.”

Wajah seorang pemuda dalam foto tersenyum dengan tampan, bersanding dengan wajah tak berdosa yang kemudian menjelma menjadi Jeff The Killer.

Tapi ini tak mungkin!

Jika ini wajah adik Jeff, lalu siapa pria yang sejak tadi berada bersamanya?



TO BE CONTINUED ...


Kamis, 26 Maret 2015

JEFF THE KILLER FINAL: THE TRIUMPH OF EVIL – CHAPTER 4 (ORIGINAL SERIES)











Theo? Theo yang meneleponnya malam itu? Tidak, itu jelas bukan suara Theo! Namun bagaimana si pembunuh bisa menelepon menggunakan telepon genggamnya?

Ia masih ingin mempercayai sahabat lamanya itu, namun kini tak ada seorangpun yang bisa ia percayai. Jessica, Mark, Brian, Theo, bahkan Leo ... tak ada jaminan bahwa pelakunya bukan seseorang di antara mereka.

Ia masih mencoba memanggil nomor Theo dan tiba-tiba ia mendengar suara dari kejauhan. Suara ringtone.

Ini ringtone milik Theo, sebuah soundtrack anime, Jenna sangat mengenalinya.

Jenna segera berusaha mencari asal suara itu.

“Theo! Theo!” panggilnya.

Namun ia terperanjat begitu melihat asal suara tersebut.

Sebuah sumur.

“Oh tidak! Kumohon ... jangan Theo ...”

Jenna memberanikan diri mendekati dan melongok ke dalam sumur itu. Suara ringtone itu jelas sekali bergema dari dalam sumur tua tersebut.

Jenna menjerit ketika melihat punggung Theo tampak mengapung di dalam sumur tersebut.

***



Jenna membuka matanya dan melihat Leo menatapnya dengan cemas.

“Leo ... di ... dimana ini?”

“Ini di ruang tamu rumahmu. Aku yang membawamu ke sini. Kau pingsan tadi. Ibumu sangat cemas.”

“Bagaimana kau menemukanku?”

“Aku mencarimu kemana-mana. Aku benar-benar khawatir, apalagi setelah yang terjadi pada yang lainnya.”

Jenna baru tersadar pemuda itu menggenggam tangannya selama ia pingsan.

“Theo!” tiba-tiba Jenna teringat kembali pengalaman yang membuatnya pingsan, “Theo! Apa dia masih hidup? Kita harus menolongnya!”

“Theo? Memangnya apa yang terjadi padanya?” Leo tampak tak mengerti.

“Theo? Apa kau tak melihatnya di dalam sumur?”

“Sumur? Tak ada apapun di sana, Jenna. Apa maksudmu Theo sudah ...”

Tubuh Jenna langsung lemas. Hal ini terjadi kembali. Mayat Theo kini juga telah menghilang. Tak ada bukti sama sekali yang tersisa. Pertama Jessica, Mark, Brian, dan sekarang Theo. Apa yang sebenarnya terjadi, Jenna tak habis pikir.

Dan kini ia tak sanggup lagi menahannya. Iapun menangis di pelukan Leo.

“Tak apa-apa, Jenna.” Leo menepuk punggung gadis itu, “Semua akan baik-baik saja.”

Dan diam-diam ia menyelipkan sebutir pil ke dalam minuman gadis itu.

***



“Apa yang terjadi dengan rumah sakit jiwa ini?” Liu terheran-heran melihat gedung megah itu kini sebagian telah hangus.

“Dibakar oleh salah satu pasien yang kabur. Katanya pasien inilah yang dibunuh oleh Jeff.”

“Pasien RSJ jelas bukan mangsa favorit Jeff.” Liu memandangi gedung itu dengan mata berair.

“Ada apa? Sepertinya kau punya kenangan dengan tempat ini.” tanya Marshall.

“Dulu pernah ada gadis yang ... ah, sudahlah! Jadi di sini kau pikir Jeff bersembunyi?”

“Tak ada tempat lain yang lebih bagus. Semua polisi yang ada di tempat ini sudah memenuhi bekas rumah kalian dulu dan daerah di sekitarnya. Tak mungkin Jeff bisa kembali ke sana tanpa ketahuan.”

“Kau memang hebat, Marshall!” puji Liu.

“Ingat! Tetap berada di dekatku oke? Aku tak mau kau mati dalam penjagaanku.”

Dan mereka berduapun masuk ke dalam gedung terbengkalai itu.

***



MALAM HALLOWEEN SEBELUMNYA

Jenna berjalan ke depan televisi sambil membawa popcorn yang baru saja ia keluarkan dari microwave. Ia hendak membenamkan dirinya ke atas sofa dengan semua DVD film horor yang dipinjamnya. Ia menghindari pesta Halloween yang diadakan oleh teman-temannya New Davenport High. Berbeda dengan remaja Amerika pada umumnya, Jenna sangat membenci pesta. Ia lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Biasanya ada Theo yang menemaninya. Theo membenci film horor dan Jenna tahu ia sangat tersiksa jika harus melihatnya. Namun Theo selalu saja bersabar dan setia menemaninya hingga film berakhir.

Tapi kini hubungan mereka agak renggang. Theo tak pernah lagi datang ke rumahnya. Mungkin ini salahnya. Jenna sendiri yang sengaja menjauh. Ia tak ingin seisi sekolah mengira mereka berpacaran. Lagipula, Jenna sedang jauh cinta dengan orang lain.

Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah jendela.

Ah, kenapa sih orang tuaku harus pergi pada malam Halloween begini, gerutu Jenna. Ia pun berjalan mendekati jendela dan ketika ia bersiap untuk menutupnya, tiba-tiba ....

“AAAAAAA!!!!” Jenna menjerit ketika melihat sesosok wajah putih menyeringai ke arahnya.

Kemudian diikuti suara tawa.

“Leo!!! Bisa nggak sih kamu berhenti usil!” seru Jenna kesal, “Apa yang kau lakukan di halaman rumahku?”

“Bukan kamu ... tapi kami ...” Brian tiba-tiba nongol dari semak-semak di belakang Leo yang tengah memakai topeng Jeff The Killer. Di belakang mereka juga ada Jessica dan .... Theo.

Jenna agak terkejut melihat kedatangan Theo. Sejujurnya, ia agak merasa canggung bila ia berada satu ruangan bersama Leo dan Theo.

“Boleh kami masuk?” tanpa permisi, Leo melompat masuk ke rumah Jenna, diikuti Brian yang kemudian membantu Jessica melompati jendela.

“Hai, Jen.” sapa Theo dengan canggung sambil melompati ambang jendela.

“Hai, Theo.”

“Kau sendirian di rumah lagi?”

Jenna mengangguk.

“Yah payaaaah ... film horornya beginian aja. Kamu nggak suka film sadis ya?” keluh Brian ketika melihat koleksi DVD yang Jenna pinjam.

“Perutku tak kuat jika disuruh melihat adegan gore.” kata Jenna, “Tak seperti kau yang mengaca setiap hari.”

Jessica tertawa terbahak-bahak, “Kena kau!”

“Huh,” Brian menjatuhkan dirinya ke atas sofa yang empuk, “Dengan kemampuan sinematografiku, aku bisa membuat film yang jauh lebih bagus. Hei, Leo! Bagaimana dengan rencanamu membuat film Jeff The Killer?”

Leo duduk di sofa, “Yah, kalian tahu lah kalau sekolah pasti takkan setuju mendanai film itu.”

“Tapi film itu akan membuat kota kita lebih terkenal kan?” tanya Jessica.

“Sepertinya warga kota ini benar-benar ingin melupakan semua tentang Jeff. Ia bagaikan mimpi buruk di kota ini. Kau tahu, aku bahkan tak berhasil mendapatkan detail sekecil apapun tentang keluarga Jeff. Foto-foto mereka benar-benar telah lenyap dari arsip. Bahkan aku tak menemukan data dan foto apapun tentang adik Jeff di buku kenangan SMA. Seakan-akan mereka tak pernah ada.”

“Ya, adik Jeff. la langsung menghilang semenjak kejadian itu. Bahkan tak ada yang ingat siapa namanya ... Michael atau siapa.”

“Ada yang bilang ia ikut program perlindungan saksi FBI.” kata Theo, “Makanya tiba-tiba seluruh datanya lenyap begitu saja.”

“Kau memang ahlinya teori konspirasi, Theo.” kata Leo, “Namun tentu saja itu takkan menghentikanku membuat film tentang Jeff. Dia menurutku adalah ... apa ya ... seorang idola?”

“Ah, kau mulai terdengar seperti Peter, pembunuh copycat itu.” kata Brian. Semua tertawa.

“Aku bersumpah, aku takkan mati sebelum aku membuat film tentang Jeff The Killer. Itu ambisi terbesarku!”

......................................................

......................................................

......................................................

Mimpi itu semakin pudar. Jenna merasa kepalanya sangat pusing dan matanya berkunang-kunang. Ia memicingkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi.

“Dimana aku? Kenapa aku berada di sini?”

***



“Mengapa kau mau menolongku?' Liu bertanya pada Marshall yang kini sedang berjalan di sampingnya.

“Aku juga punya dendam dengan Jeff.” bisiknya.

“Apa?” selama ini Marshall-lah yang melindunginya selama di program perlindungan saksi, namun Liu baru sadar ia tak tahu sedikitpun tentangnya.

“Orang tuaku sudah bercerai. Ibuku membawa adikku ke New Davenport dan suatu malam ia menghilang. Semua menyalahkan Jeff atas kejadian itu.”

“Aku turut berduka cita, Marshall.” Liu merasa tak enak mendengarnya.

Ia adalah adik Jeff. Apa itu juga berarti Marshall juga diam-diam menyimpan dendam kepadanya?

Tiba-tiba mereka melihat sekelebatan bayangan lewat tepat di persimpangan lorong depan mereka.

“Siapa itu?” Marshall segera berlari mengejarnya dengan pistol teracung di tangannya.

“Marshall! Tunggu!” seru Liu.

“DOR DOR!”

Liu mendengar suara tembakan bergema bersama kilatan cahaya dari arah lorong dimana Marshall mengejar sosok misterius itu.

“Marshall! Marshall!” seru Liu. Namun suara pemuda itu hanya bergema di lorong rumah sakit. Kegelapan memenuhi tiap jengkal lorong itu. Mustahil bagi Liu untuk melihat apapun.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.

“Siapa di situ? Marshall?'

Yang Liu ingat berikutnya hanyalah hantaman keras di kepalanya yang membuatnya pingsan.

***



Jenna sama sekali tak mengenali tempat dimana ia berada sekarang. Ruangan dimana ia terbangun adalah sebuah ruangan yang tampak tua. Ruangan itu amat luas, hampir seperti bangsal dengan banyak ranjang tua berjejer rapi hingga ke ujung ruangan. Tampak bekas terbakar di beberapa sisinya. Terlihat pula beberapa perlengkapan medis seperti model manusia dengan organ dalam yang terlihat serta rak-rak berisi botol obat dan jarum suntik.

Jenna menjerit begitu menyadari ada sebuah mayat terbaring di sampingnya.

Mayat yang terbakar itu.

Mayat itu masih memakai perban di kepalanya.

Jenna segera menjauh dan mencoba mencari pintu. Ia memutar pegangan pintunya, namun terkunci.

“Siapa di sana! Tolong! Keluarkan aku!” pinta Jenna. Ia melihat sekeliling dan menyadari, sebuah kamera dipasang di pojok ruangan.

“Siapa kau?” jerit Jenna, “Mengapa kau melakukan ini?”

Tiba-tiba terdengar langkah kaki, bukan ... banyak langkah kaki. Jenna mundur dari pintu dengan ngeri. Ia melihat banyak film horor bersetting di rumah sakit jiwa yang terbengkalai, dimana dokter dan para perawatnya melakukan percobaan mengerikan dengan tubuh manusia.

Apa itu yang akan ia alami di sini?

Langkah-langkah kaki itu berhenti di depan pintu.

Terdengar bunyi “klik” ketika kunci dibuka dan kenop pintupun terlihat memutar.

Jenna menahan napas.

Dan ketika pintu terbuka, nampak sosok seorang pemuda yang amat dikenalnya.

Leo.

Namun yang lebih membuat Jenna terkejut, ia tak sendirian.

Ada Brian yang memegang kamera di sana.

Juga Mark dan Jessica.

Serta Theo.

“Ka ... kalian masih hidup? Ada apa ini sebenarnya?”

Semua orang bertepuk tangan, kecuali Theo yang masih menatap Jenna dengan gemetar dari balik kacamatanya.

“Terima kasih atas aktingmu, Jenna. Benar-benar brilian.” kata Leo, “Ah maaf, bukan akting, namun sungguhan.”

“A ... aku tak mengerti ...” kata Jenna terbata-bata.

“Kau harus mengerti Jenna, kami terpaksa melakukan ini.” jawab sang sutradara, “Kau adalah aktris utama, namun sayang sekali, jika harus jujur, aktingmu buruk sekali.”

“Karena itu kami merancang semua ini. Untuk film terbaru Leo, yang aku yakin akan sangat sukses.” kata Mark. “Kami pikir, pasti akan hebat jika kau mengira bahwa ini semua adalah sungguhan sehingga kami bisa menangkap ekspresi aslimu. Jadi kami melakukan ini semua.”

“Tapi ... mayat yang kalian bakar itu. Tapi dia benar-benar mati!”

“Oh, itu hanyalah aktor tambahan kami, perkenalkan Jake!” Brian menyorotkan kameranya ke tubuh yang terbaring di ranjang dengan kostum hangus itu.

“Jake? Jake yang hilang bersama adiknya itu?”

“Ya, itu hanya pura-pura. Jake menyamar menjadi Jeff palsu, menakuti kalian, lalu pura-pura ditembak, dan efek bakar-bakaran itu, WOW! Kami harus berterima kasih pada Theo yang menciptakan special effect yang benar2 canggih itu.”

“Lalu kami memalsukan kematian kami,” kata Jessica, “Itu semua agar kami bisa mendapatkan ekspresi ketakutanmu yang asli, Jenna. Karena kau tahu, semua ini takkan terjadi jika saja aktris yang lebih baik, seperti aku, yang memerankan tokohmu.”

Leo menggandeng Jessica, “Ah, kau selalu menjadi aktris terbaik bagiku, Sayang. Namun apa yang lebih baik ketimbang ekspresi asli seorang gadis yang benar-benar mengira ia dikejar oleh pembunuh berantai?” pemuda itu kembali menatap Jenna, “Semua ini demi kesempurnaan filmku. Aku harap kau mengerti, Jenna.”

Air mata mulai mengalir di pipi Jenna, “Kau ... kau selama ini berpura-pura menyukaiku ... demi filmmu. Dan mayat-mayat itu ...”

“Mayat Mark yang tergantung dan tubuh Theo yang tenggelam; itu semua hanyalah boneka properti ... dummy ...” Leo menoleh ke arah Theo, “Dan lagi-lagi kami harus berterima kasih kepada Theo yang sudah merancang semua special effect itu dengan sempurna.”

Jenna menatap Theo. Ia menundukkan wajahnya, mencoba menghindari kontak mata dengan Jenna.

“Kenapa ... kenapa kau melakukan itu?”

“Jangan terlalu menyalahkan Theo, Jen.” kata Leo, “Dia hampir saja mengacaukan rencana kami dengan berniat mengatakan padamu yang sebenarnya di hutan. Untung saja kami cepat menghentikannya. Namun jangan khawatir, adeganmu cukup sampai di sini saja. Setelah ini sebenarnya karaktermu mati disiksa oleh Jeff di ruang bawah tanah. Theo juga sudah menyiapkan boneka sebagai pengganti dirimu dan berbagai detail-detail gory yang tak bisa kujelaskan ... takutnya akan menjadi spoiler nanti. Kau bisa berterima kasih kepada kami nanti. Sebelum ini, kau hanyalah gadis culun yang tak diperhatikan siapapun di sekolah. Dan kini, kami menjadikanmu seorang bintang!”

“Hentikan!” seru Theo, “Kalian sudah selesai kan? Biarkan dia pergi! Aku sudah cukup mendengar ini!”

“Kau masih saja perhatian dengannya, Theo?” tanya Jessica, “Ia mencampakkanmu begitu saja. Dia bukan temanmu. Kami-lah temanmu. Kami yang menyadari bakatmu dan mengajakmu bergabung.”

“Kalian hanya memanfaatkanku. Sama seperti kalian memanfaatkan Jenna!”

“Ini adalah bisnis perfilman, Theo!” seru Mark, “Semua orang saling memanfaatkan agar menjadi bintang.”

“Ini tidak adil!”

“BRAAAK!!!!” tiba-tiba terdengar suara dari atas mereka.

Semua mendongak ke atas.

“Leo, apa ada orang lain di sini?” tanya Mark.

“Tidak. Hanya ada kita Harusnya gedung ini terbengkalai. Atau itu adik Jake? Aku sudah mengatakan padanya untuk tidak mengajaknya ke sini.”

“Jake! Bangunlah! Jangan cuma tidur terus!” Mark segera menghampirinya dan mencoba menggerakkan tubuhnya, namun ...

Jenna menjerit ketika melihat tubuh Jake tercerai berai dan jatuh dari kasur. Potongan2 tubuhnya bergelimpangan di lantai dengan darah segar masih menetes.

“Theo! Ini perbuatanmu?”

“Bukan! Bukan aku pelakunya! Itu ... itu benar-benar tubuh Jake!”

“Ti ... tidak mungkin!” jerit Jessica, “Sejam yang lalu ia masih hidup!”

Tiba-tiba lampu padam. Semua menjerit di dalam kegelapan.

“Apa? Apa yang terjadi?” terdengar teriakan Leo.

“Jenna! Jenna!” seru Theo dengan khawatir.

“Theo ... aku di sini!” jerit Jenna ketakutan.

Tiba-tiba lampu menyala kembali. Semua kembali menjerit.

Tubuh Brian hampir ambruk, hanya sebatang pancang tajam yang menyangga tubuhnya. Namun pancang itu menusuk menembus kepalanya, tepat di matanya. Kameranya terjatuh dari tangannya yang kini terkulai tak bernyawa.

Theo segera menggandeng tangan Jenna, sementara semuanya berpencar dengan panik.

“JENNA! AYO CEPAT PERGI DARI SINI! ADA PEMBUNUH SUNGGUHAN BERSEMBUNYI DI SINI!



TO BE CONTINUED ...

JEFF THE KILLER FINAL: THE TRIUMPH OF EVIL – CHAPTER 3 (ORIGINAL SERIES)





“Maksudmu kini ada yang meneror kita dengan meniru adegan2 film terkenal?” tanya Theo tak percaya. “Tadi malam Jenna dan sekarang Jessica?”

“Kita harus melapor pada polisi! Jessica ...”

“Bagaimanapun juga Jessica sudah meninggal,” Mark akhirnya angkat suara, “Apapun yang kita lakukan takkan bisa membangkitkannya kembali.”

Jenna menatap Mark dengan geram, “Apa kau tak peduli sedikitpun pada nasib Jessica?”

“Justru karena aku peduli maka aku mengatakan hal itu!” Mark membela diri, “Lebih baik Jessica meninggal sebagai pahlawan di mata warga kota dan orang tuanya ketimbang ia selamanya dikenang sebagai pembohong apabila kita mengatakan yang sejujurnya pada polisi!”

“Tega-teganya kau mengatakan itu!” jerit Jenna, “Sejak awal ini semua kesalahanmu!”

“Sudahlah hentikan!” Leo menengahi mereka, “Mark benar. Lapor ke polisi takkan memecahkan masalah ini. Apa kau pikir mereka akan melindungi kita setelah kita berbohong seperti ini?”

“Ya,” kata Brian, “Mereka akan menganggap kita berbohong juga dan takkan mempercayai kita.”

“Lalu apa yang akan kita lakukan?” air mata mulai menetes di pipi Jenna.

“Kita semua akan pergi ke mansionku.” kata Mark, “Ada banyak senjata di sana. Kita bakal menghabisi Jeff atau siapapun yang mencoba macam-macam dengan kita.”

***



Leo mengendarai mobilnya bersama dengan Jenna. Gadis itu kini tak lagi menangis, apalagi dengan adanya Leo di sampingnya.

“Maaf semua ini harus terjadi padamu.” kata Leo pelan. Ia memutuskan untuk mengantar gadis itu pulang setelah melihat kondisinya yang cukup terguncang.

“Apa menurutmu ini perbuatan Jeff?” tanya Jenna pelan.

“Mengapa kau berpikir begitu?”

“Bagaimana jika Jeff masih hidup? Bagaimana jika Jeff tahu apa yang kita lakukan ... memfitnahnya?”

“Entahlah, Jenna ... tapi siapapun pelakunya aku berjanji,” pemuda itu menatap dalam-dalam mata Jenna, “Aku takkan membiarkan apapun terjadi kepadamu.”

Perkataan lembut pemuda itu sedikit menenangkan hati Jenna.

Tiba-tiba telepon Leo berbunyi. Pemuda itu mengangkatnya sambil masih memegang setir.

“Ya, Theo? Ya ini aku bersama dengan Jenna ... Ha? Apa maksudmu dengan hilang? Baik ... akan kutelepon lagi.”

“Ada apa, Leo?”

“Kau takkan percaya ini.” Leo menaruh teleponnya, “Tapi mayat yang kita tembak dan bakar kemarin hilang.”

“Apa? Apa maksudnya hilang?”

“Hilang begitu saja dari kantor polisi sebelum mereka sempat mengotopsinya.”

“Apa ... apa kau pikir Mark yang melakukannya?”

Leo menatapnya kembali, “Kenapa kau berpikir begitu?”

“Well, peluru miliknya masih berada di tubuh pria misterius itu kan? Bisa saja Mark menyuap orang untuk mencuri mayat itu agar tidak diotopsi. Agak aneh bukan jika Jeff menembak seseorang? Mungkin ia takut seseorang akan menyadarinya.”

Leo berpikir sebentar lalu mengubah arah laju mobilnya, “Kalau begitu, ayo kita tanyakan langsung kepadanya!”

***



Mobil mereka berhenti di depan mansion mewah tempat keluarga Mark tinggal. Walaupun besar, rumah itu sangat sepi.

“Kurasa kedua orang tuanya pergi ke luar negeri lagi.”

“Itu selalu terjadi?” tanya Jenna.

“Ya, tak banyak orang yang tahu kehidupan Mark sebenarnya tidak bahagia. Ia hampir tak pernah melihat orang tuanya karena kesibukan mereka. Mungkin gara-gara itu dia jadi ...” perkataan Leo terhenti karena jeritan Jenna. Ia menunjuk ke arah danau yang terhampar di halaman belakang mansion itu.

Di sana, di sebuah ranting pohon, terjulur tubuh seorang pemuda. Tubuh itu tergantung dengan sebuah tali terikat di lehernya.

Mereka berdua segera berlari ke sana.

“Astaga! Itu Mark!”

“Si ... siapa yang membunuhnya?”

“Jenna, lihat ...” tunjuk Leo, “Mayat yang tergantung, pohon, danau, dan rumah tua di belakangnya. Apa ini semua tidak asing.”

“Ini ... ini seperti film The Conjuring.”

***




“Tidak! Kita tidak akan pergi ke New Davenport!” Marshall mengendarai mobilnya, masih dengan Liu di dalamnya. “Tugasku adalah membuatmu aman. Lagipula, polisi sedang menyelidiki peristiwa ini. Ada kemungkinan pembunuhan ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Jeff The Killer.”

Liu membaca surat kabar itu dengan saksama, “Tapi Marshall, ini aneh sekali .... di sini ditulis ada 6 orang remaja yang selamat. Jeff takkan pernah membiarkan siapapun selamat!.”

“Well, mungkin kali ini Jeff kewalahan karena menghadapi 6 orang sekaligus.”

“Tidak, kau tidak mengerti! Jeff takkan membiarkan siapapun lolos! Jika mereka selamat, maka hanya menunggu waktu sebelum Jeff mengincar dan membunuh mereka satu demi satu. Kita harus menyelamatkan mereka!”

Marshall itu menjadi bimbang mendengar perkataan Liu.

***



“Jenna! Leo! Apa kalian baik-baik saja?” seru Theo ketika ia dan Brian keluar dari mobil.

“Apa Mark benar-benar sudah tewas? Aku tak percaya hal ini terjadi.” kata Brian.

“Mayatnya tergantung di sana ... dekat danau. Terlalu tinggi untuk menurunkannya dan kami juga tak tega melihat mayatnya, makanya kami menunggu di sini.”

“Kalian tidak memanggil polisi kan?” tanya Brian cemas.

Leo menggeleng, “Namun ada yang aneh. Tak ada siapapun di mansion ini, bahkan pembantu atau penjaga rumah. Sepertinya Mark menyuruh mereka semua untuk pergi.”

“Itu sangat aneh! Bukankah jika ada mereka maka Mark akan tetap aman? Lalu dimana mayatnya?”

“Kami akan menunjukkan padamu.” mereka berempat mulai berjalan, “Mayatnya ada di ...”

Leo dan Jenna tertegun.

Mayat yang sebelumnya tergantung di pohon kini telah lenyap.

“Apa-apaan ini? Apa kau mengerjai kami, Leo?” Brian terdengar marah.

“Tidak!” seru Jenna, “Kami benar-benar melihatnya tadi di sana!”

“Pertama, mayat hangus itu hilang. Lalu mayat Mark yang kata kalian ada di sana juga ikut hilang. Dengar Leo, jika kau mengerjai kami ...”

“Brian, dengar! Semua ini nyata! Aku benar-benar menyaksikan mayat Mark tergantung di sana! Jenna saksinya! Kami benar-benar tak mengerti mengapa mayatnya bisa hilang!”

“Mayat Jessica juga tidak ada.” kata Theo pelan.

“Apa?”

“Kami berdua terpaksa menerobos masuk rumah Jessica, namun tak ada apapun di sana. Bahkan tak ada setitik noda darahpun.”

“Aku mengerti sekarang!” seru Brian dengan nada tinggi, “Ini salah satu proyek filmmu kan, memasang kamera rahasia untuk menangkap emosi kami, seperti candid camera?”

“Brian, demi Tuhan aku ...”

“Ah, sudahlah!” Brian mendorong tubuh Leo dengan marah, “Aku tak mau ikut dengan semua permainanmu lagi. Ini pasti akal-akalanmu supaya filmmu menjadi terkenal.”

Brian melangkah masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan mereka.

“Brian, tunggu! Nyawamu berada dalam bahaya jika kamu sendirian! Tunggu!!!”

***



“Ada apa, Jenna? Semenjak kau mendapat medali itu kau kelihatan gelisah.” ibu Jenna bertanya pada putrinya yang tengah termenung di teras.

“Tak apa-apa kok Ma. Papa dan Mama tak usah khawatir. Aku hanya sedikit trauma.”

“Tentang Jeff The Killer? Jangan takut!” ibu Jenna mengusap rambut putrinya, “Polisi akan menangkapnya.”

“Oya, ibu Berty tak marah kan soal yang waktu itu?”

“Oh, jangan cemaskan itu. Ia malah berterima kasih kamu sudah menjaga Berty malam itu. Hanya dia agak heran ada nomor asing yang menelepon ke rumah mereka. Apa itu nomor temanmu?'

“Nomor asing?” tanya Jenna. Ia langsung teringat pada panggilan misterius yang masuk malam itu. “Apa telepon milik mereka bisa menyimpan caller id? Bisakah Mama meminta nomor itu kepada mereka?”

***



Brian mengendarai mobilnya sambil melirik ke kamera yang ia pasang di dashboard mobil. Ia memasang dua kamera, satu menghadap ke dalam dan satu menghadap ke luar. Ini akan merekam apapun yang terjadi padanya.

Brian tahu kelicikan Leo. Bahkan kadang kala ia lebih licik ketimbang Mark. Yah, mereka berdua sam saja. Dan Theo yang tolol itu, benar-benar tak bisa diandalkan. Alasannya bergabung dengan klub hanyalah agar dia bisa merekam gadis2 cantik seperti Jenna dan Jessica.

Dia melewati kamp perkemahan yang ada di sisi danau. Danau ini adalah danau buatan yang dibuat oleh pemilik real estate di sini untuk menarik pembeli. Percuma juga berenang di danau ini, pikirnya. Airnya asin karena berasal dari rembesan air laut.

Tiba-tiba ia melihat sesuatu di depan mobilnya, tepat berdiri di tengah jalan. Brian segera membanting setir untuk menghindarinya. Mobilnya terhenti di pinggir jalan. Untung saja ia tak menabrak apapun.

Dia mendongak.

Seorang pria memakai topeng hoki berjalan ke arahnya sambil membawa golok.

“Oh, kau pasti bercanda!”

***



“Jenna!”

“Leo!” Jenna gembira mendengar suara pemuda itu. “Ada apa kau meneleponku?”

“Ada kabar buruk. Polisi menemukan mobil Brian di dekat danau di kamp perkemahan. Ada banyak darah di mobilnya.”

“Apa? Apa Brian ...”

“Itu masalahnya. Brian tak ada di dalam mobil itu. Polisi masih mencarinya tapi kau harus tahu .... situasi di sini .... ada danau, kamp perkemahan ... semuanya mengingatkanku pada ...”

“Crystal Lake .... Friday The 13th ... Jason Vorhees.” bisik Jenna. Semuanya lengkap kini. Ia juga baru teringat bahwa ia diteror ketika ia menjadi babysitter, sama seperti film Halloween. Siapapun yang mengejar mereka membunuh mereka satu demi satu sesuai scene film horor terkenal. Permainan sakit macam apa ini?

“Leo, dengar ... tetanggaku ternyata menyimpan nomor misterius yang menerorku malam itu. Mungkin saja kita bisa mengenali siapa pelakunya dari nomor itu.”

“Baiklah, tetap di sana dan jangan kemana-mana, mengerti!”

Leo pun menutup teleponnya.

Namun semuanya tetap terasa aneh bagi Jenna. Jika memang Jeff yang mengincar mereka, mengapa ia harus melenyapkan mayat korban-korbannya? Mengapa ia harus serepot itu.?Apa ia tak ingin ada orang yang tahu bahwa ia masih hidup? Namun itu percuma. Bukankah gara-gara kami semua orang sudah mengira bahwa Jeff masih hidup, pikir Jenna keras.

Apa mungkin pelakunya orang lain?

Ia bergidik ngeri. Ia teringat kasus copycat Jeff The Killer yang pernah terjadi di New Davenport. Peter, pembunuh sebenarnya, berpura-pura mati dan menghabisi para siswa New Davenport High satu demi satu karena ia terlalu terobsesi dengan Jeff The Killer.

Bagaimana jika pelakunya salah satu di antara mereka yang pura-pura mati?

Namun yang lebih menggelisahkan Jenna, di antara mereka semua, yang paling terobsesi dengan Jeff adalah Leo. Bahkan semula ia ingin membuat film mengenai Jeff The Killer, namun tentu saja ide itu ditolak mentah-mentah oleh pihak sekolah.

Tiba-tiba telepon genggam Jenna kembali berbunyi.

Theo memanggilnya. Tumben, ada apa?

Jenna mengangkatnya, “Halo, Theo ...”

“Jenna, ada yang ingin kusampaikan padamu. Bisakah kau menemuiku 15 menit lagi? Di tempat dimana kita syuting terakhir kali?”

“Apa? Ke hutan itu? Tapi ....”

“Kumohon, kau harus tahu sesuatu! Tapi jangan bilang ke Leo! Ini sangat penting!”

Jenna terngiang kembali masa dimana ia dan Theo dulu bersahabat. Mereka berdua dulu adalah anak yang sukar untuk berteman. Jenna terlalu pendiam dan Theo adalah seorang otaku yang sangat terobsesi dengan manga Jepang sehingga ia dianggap aneh dan dijauhi teman-temannya. Dulu mereka bersahabat karena kesamaan itu. Namun persahabatan mereka mulai renggang akhir-akhir ini, terutama semenjak Jenna dekat dengan Leo.

“Baiklah, Theo.” Jenna merasa sulit untuk menolak permintaan seorang teman yang pernah begitu dekat dengannya itu, “Aku akan menemuimu di sana.”

***



Hutan dimana Jenna berada adalah hutan meranggas yang semakin lama ditelanjangi oleh musim gugur. Musim dingin hampir mendekat dan hutan ini makin terasa sunyi.

Hufh, sudah hampir setengah jam aku menunggu di sini, pikir Jenna. Dimana Theo? Tak biasanya ia terlambat.

Ia memutuskan berjalan masuk lebih jauh ke hutan. Siapa tahu Theo menunggu tak jauh dari situ.

Tiba-tiba teleponnya berdering. SMS dari ibunya.

Nomor dari rumah keluarga Berty! Jenna hampir saja melupakannya. Sederet nomor itu terasa tak asing saat Jenna membacanya, namun ia masih tak bisa mengingat nomor siapa itu.

Jenna akhirnya memberanikan diri menelepon nomor itu dan tersentak begitu melihat nama yang tertera di layarnya.

Theo.



TO BE CONTINUED ...

JEFF THE KILLER FINAL: THE TRIUMPH OF EVIL – CHAPTER 02 – (ORIGINAL SERIES)



JEFF THE KILLER FINAL: THE TRIUMPH OF EVIL – CHAPTER 02 – (ORIGINAL SERIES)










Mobil polisi itu berhenti di dekat mereka. Suara raungan sirinenya seakan membekukan mereka, seperti seekor kijang yang mendengar auman singa yang akan memangsanya.

Seorang polisi turun dari mobil dan berseru, “SIAPA KALIAN! APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI???”

“Jeff The Killer!” tiba-tiba Mark berseru, “Jeff The Killer pelakunya!”

“Apa?” bisik Jenna tak percaya.

“Kami mendengar teriakan minta tolong dari pria ini, jadi kami segera ke sini untuk menolongnya. Namun ...”

“Ya, Jeff The Killer membunuhnya. Kami datang terlambat!” seru Leo tiba-tiba, melanjutkan kebohongan Mark, “Untung saja Anda segera datang, Pak Polisi! Jika tidak, ia juga pasti akan membunuh kami.”

“Dimana dia sekarang!” polisi itu segera mengambil pistol dari sabuknya begitu mendengar nama pembunuh berantai paling ditakuti itu.

“Jeff sudah kabur!” Jessica berseru, “Ia menghilang ke dalam hutan.”

“Kalian masuklah ke mobil! Aku akan memanggil bantuan!” polisi itu tampak dengan panik menghubungi rekannya dengan radionya.

Jenna melihat seutas senyuman di wajah Mark.

***



Jenna merasa muak dengan semua kebohongan ini. Namun kini mereka berjalan ke atas podium. Murid-murid dan guru dari New Davenport High berdiri menyambut mereka sambil bertepuk tangan.

Sang kepala sekolah memulai pidatonya, “Kota kita selama bertahun-tahun dicekam oleh ketakutan. Ketakutan akan Jeff The Killer, pembunuh sadistik yang selalu mengincar nyawa orang-orang tak berdosa. Namun sekarang ada harapan. Mereka berenam yang berdiri di depan kita semua adalah pemuda dan pemudi yang dengan gagah menghadapi sang pembunuh berantai itu dan berhasil selamat. Untuk itu, mereka layak disebut sebagai pahlawan kota ini!”

Tepuk tangan kembali membahana.

“Kau dengar itu,” bisik Leo yang berdiri di samping Jenna, “Mereka menyebut kita pahlawan!”

“Tapi ini semua kebohongan, Leo!” air mata mulai menitik di wajah jenna, “Aku tak mau terus-menerus berbohong seperti ini.”

“Lalu kenapa kau tak katakan yang sejujurnya?”

“Demi kamu,” Jenna ingin menjawab demikian, namun ia tak ingin begitu saja membiarkan Leo mengetahui semua perasaannya, “Aku melakukannya untukmu. Aku tahu apa yang akan terjadi denganmu apabila semua ini terbongkar. Seluruh impianmu akan hancur. Karena itu aku terus bertahan dengan kebohongan ini. Demi dirimu.”

“Sudahlah, Jenna. Jangan terlalu merasa bersalah. Kau tahu siapa pria yang tewas itu?”

“Siapa memangnya?”

“Kau dengar di berita kan tentang pasien dari rumah sakit jiwa yang kabur?”

“Apa dia ...”

“Ya, kurasa itu dia. Polisi belum mengidentifikasinya karena wajahnya hancur terbakar. Data di rumah sakit jiwa juga sudah musnah seluruhnya jadi kita mungkin takkan tahu. Tapi pasti dia. Kita sudah menyelamatkan banyak jiwa jika itu memang dia. Bayangkan jika orang seperti dia berkeliaran di luar sana.”

Tapi kenyataan itu tetap tak membuat hati Jenna merasa nyaman.

Ia hanya bisa memasang senyum palsu ketika kepala sekolah mengalungkan medali kehormatan ke lehernya.

***



“Polisi masih menyelidiki kebakaran yang terjadi di New Davenport Asylum yang menewaskan beberapa staff rumah sakit jiwa dan pasiennya. Kebakaran ini diduga disulut oleh salah seorang pasien yang keberadaannya hingga sekarang belum diketahui. Namun kemungkinan besar pasien tersebut berkaitan dengan mayat yang ditemukan tak jauh dari bekas kediaman penjahat terkenal Jeff The Killer.”

“Berita selanjutnya. Masih terkait dengan berita sebelumnya, New Davenport High menganugerahkan penghargaan kepada siswa-siswa yang berhadapan dengan Jeff The Killer semalam. Walaupun berita ini tentu saja mengguncang publik karena ini menandakan bahwa Jeff The Killer masih berkeliaran di luar sana, ini juga merupakan bukti masih tersisa keberanian di hati para generasi muda kita ...”

Jenna segera mematikan layar televisi di kamarnya dan membuang medali kehormatan yang diperolehnya pagi ini ke dalam keranjang sampah.

Ia merasa tak pantas menerima semua ini.

Mark, ini semua perbuatannya. Mungkin saja ia tahu pria itu belum mati dan menyuruh kami membakarnya agar semua kesalahan bisa ditimpakan kepada kami, pikir Jenna. Secara teknis, ini berarti mereka-lah yang membunuh pria itu, bukan Mark.

Walaupun bisa dibilang idenya sangat brilian, menimpakan semua kesalahan pada Jeff The Killer, namun tetap saja ini berarti mereka mengelak dari semua tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul.

Jenna tahu dalam lubuk hatinya semua ini salah, namun ia tak kuasa untuk berbuat apapun. Ia tahu, dengan menelepon polisi dan menceritakan semuanya, ia bisa menghancurkan hidup Leo dan teman-temannya. Bahkan mungkin juga kehidupannya.

Ia benar-benar tak bisa melakukan ini semua.

“Jenna, ada telepon untukmu Sayang!” terdengar suara ibunya dari luar kamar. “Dari tetangga sebelah, mereka bertanya apa kau jadi mengasuh Berty nanti malam.”

“Oh ya, katakan saja aku jadi, Ma!” seru Jenna. Ia hampir saja lupa bahwa ia harus menjadi baby sitter anak tetangga mereka nanti malam. Jenna justru merasa senang. Dengan ini ia bisa melupakan semua kegalauannya.

Jenna menoleh ke luar jendela. Sesosok bayangan dengan cepat menghilang ke balik pepohonan. Aneh, sepertinya tadi ia melihat seseorang di luar sana.

Apa seseorang sedang mengawasinya?

***



Seorang pria masuk ke dalam kedai kopi dan bertanya pada wanita yang menjaga kasir.

“Apa Michael ada? Aku kakaknya, ada urusan keluarga sebentar. Ia harus ikut denganku.”

Wanita itu memandang pria bule di hadapannya dengan tatapan ragu, namun tetap saja ia memanggil seorang pemuda yang tengah bekerja mengantarkan pesanan.

“Michael, kakakmu mencarimu!”

Pemuda itu mendongak dan mereka saling bertatapan.

***



“Penyamaran yang bagus Marshall,” kata Liu sambil membuka pintu kedai kopi dan keluar, “Mana ada yang percaya kau kakakku?”

“Katakan saja aku diadopsi,” kata agen FBI itu, “Jika aku tak mengaku sebagai keluargamu, mereka takkan membiarkanmu pulang.”

“Ada apa ini?” katanya sambil memasuki mobil tanpa berusaha menarik perhatian. Ia sudah paham semua protokol yang harus ia ikuti. “Apa penyamaranku di kota ini terbongkar?”

“Kau sudah melihat berita hari ini, Liu?” Marshall mengenakan kaca mata hitamnya dan mulai mengendarai mobil. “Jeff sudah kembali.”

“Apa?” bisik Liu tak percaya. Selama setahun ia mengikuti program perlindungan saksi, satu-satunya cara untuk menjamin keselamatannya dari ancaman Jeff The Killer. Setelah kematian Tessa, FBI tahu Jeff The Killer masih hidup. Jika mereka ingin menangkap dan memenjarakan Jeff The Killer, satu-satunya cara hanyalah untuk melindungi satu-satunya saksi mata yang berhasil selamat dari kekejaman Jeff: adiknya.

“Hanya kau satu-satunya saksi hidup yang pernah melihat Jeff. Kami tak bisa mengambil resiko. Kami akan segera memindahkanmu ke tempat yang lebih aman.”

“Jika Jeff masih hidup,” kata Liu dengan tegas, “maka aku harus kembali ke New Davenport!”

“Apa kau gila? Ia akan membunuhmu!”

“Apa kau tak mengerti Marshall? Tak akan ada tempat yang aman! Satu-satunya cara untuk menyelesaikan ini semua adalah dengan menghadapinya!”

“Kau pikir kau bisa membunuh Jeff The Killer?”

“Aku tidak. Tapi kau bisa!”

Marshall terdiam.

“Kumohon, Marshall! Kita harus kembali ke New Davenport. Jika Jeff sudah kembali, maka akan lebih banyak mayat yang akan bergelimpangan! Kita harus menghentikannya!”

***



“Kak Jenna, aku mengantuk.” kata gadis cilik itu sambil menguap.

“Oh, kamu mau tidur sekarang Berty?” tanya Jenna dengan nada keibuan. Wajah lucu gadis ini sudah membuatnya merasa jauh lebih tenang. Sejenak ia bisa melupakan pengalaman mengerikan yang ia alami tadi malam.

“Tapi aku takut, Kak.”

“Taku sama siapa? Sama monster yang ada di bawah tempat tidurmu? Waaaa ....” Jenna segera menggelitiki gadis kecil itu. Berty hanya tertawa.

“Bukan, tapi pada oom bersenyum menakutkan di jendela.”

Secara refleks Jenna menoleh ke arah jendela di belakangnya.

Tak ada apapun di sana.

Jantung Jenna terasa berdegup kencang.

“Berty ... ayo cepat kamu pergi tidur.” Jenna membopong anak itu ke lantai dua dan menidurkannya di kamarnya. Jenna merasa tak yakin, mungkin ia merasa lelah sehingga menjadi sedikit paranoid seperti ini. Ia berjalan menuruni tangga, hendak menelepon orang tua Berty ketika tiba-tiba telepon berdering.

“Halo?” Jenna segera mengangkatnya.

Namun tak ada jawaban. Hanya ada suara dengusan napas.

Jenna merasa ketakutan dan segera menutupnya.

Namun baru beberapa detik Jenna menutup telepon itu, suara deringan kembali terdengar memecah keheningan malam.

Jenna kembali mengangkatnya, berharap itu adalah orang tua Berty yang mengatakan bahwa mereka akan segera pulang.

“Halo? Siapa ini?” terdengar nada ketakutan dalam suara Jenna saat ia mengangkat telepon.

“Hai Jenna.”

“Siapa ini?” Jenna bergidik ngeri mendengar suara berat dan tajam dari pria tersebut, “Leo ... apa itu kau?”

“Jenna ... apa film horor favoritmu?” bisik suara di telepon itu.

“Apa-apaan ini? Apa kau sedang meniru film Scream?” Jenna memaksakan diri untuk tertawa, “Jika iya, maka tiruanmu buruk sekali.”

“Aku bukan peniru, Jenna. Aku bertanya begitu supaya kau bisa mati seperti tokoh dalam film horor favoritmu!”

Jenna menjerit dan segera menutup telepon itu.

“Ya Tuhan, Berty!” Jenna segera teringat pada gadis cilik itu dan segera berlari ke lantai dua. Dengan tergopoh-gopoh ia segera mengangkatnya dari tempat tidur.

“Ada apa Jenna?” bisik gadis cilik itu sambil mengusap-usap matanya.

“Maafkan aku membangunkanmu, Berty ... tapi kita harus segera pergi!” ujar Jenna sambil berusaha setenang mungkin. Ia segera menuruni tangga dan menjerit ketika menyadari apa yang terjadi.

Pintu depan yang tadi tertutup kini terbuka lebar.

Ia segera berlari keluar menuju rumahnya yang hanya berada di seberang jalan.

“Mama! Papa! Tolong ... AAAAAA!!!” tiba-tiba ia menjerit ketika sesosok bayangan hitam menghadangnya.

“Jenna, demi Tuhan! Kenapa berteriak seperti itu? Ini aku!”

Jenna merasa lega begitu menyadari pria yang berada di depannya adalah Leo.

“Leo ... tadi ada yang menerorku ...Dia meneleponku ... Jeff ...”

Sebuah mobil menepi di depan rumah dan seorang wanita keluar dari dalam mobil.

“Jenna, ada apa ini? Mengapa kau membawa Berty keluar malam-malam begini?”

“A ... aku ...” Jenna terbata-bata. Ia tak mampu menjelaskan pada orang tua Berty teror seperti apa yang baru saja ia alami.

“Maaf ... Jenna mengira ada kebakaran, makanya ia panik. Tapi saya yakin semuanya baik-baik saja.” kata Leo berusaha menenangkan keadaan.

Jenna kemudian menyerahkan Berty ke tangan ibunya dan Leo segera menggamit tangannya.

“Ada yang ingin kubicarakan padamu.”

Leo menyisipkan sebuah kertas ke dalam tangan Jenna. Sebuah kertas note bertuliskan,

“AKU TAHU.”

***



Brian menyalakan rekaman yang ada di dalam camcorder-nya di depan teman-temannya.

“Itu ... itu rumah Jessica.” pekik Jenna pelan. “Ke ... kenapa kau merekam rumah Jessica?”

“Bukan aku pelakunya! Camcorder-ku tadi malam hilang dan pagi ini tiba-tiba aku menemukannya di dalam lokerku. Sekarang perhatikan rekaman ini!”

Siapapun yang merekam video ini masuk ke dalam rumah Jessica, kemudian mengendap-endap naik ke tangga dengan perlahan menuju lantai dua. Sepertinya tak seorangpun di dalam rumah yang menyadari sosok ini menyelinap masuk tanpa izin.

“Itu kamar Jessica!” Jenna merasa ketakutan dan tak berani melihat adegan selanjutnya.

Sang perekam membuka kamar Jessica dan terdengar suara deru air yang mengucur dari shower. Orang itu berbelok dan menatap pintu kamar mandi Jessica yang sedikit terbuka. Ia kemudian berjalan ke arah kamar mandi dan membuka pintu. Suara berdecit dari pintu itu tenggelam dalam suara kucuran air shower yang cukup deras. Terdengar pula suara Jessica menyanyi dari balik tirai. Sepertinya Jessica sama sekali tak menyadari kehadiran penyusup itu.

Bayangan Jessica yang tengah mandi terlihat dari tirai. Tiba-tiba saja si perekam membuka tirai dengan paksa. Terlihat Jessica menjerit ketika sebilah pisau ditikamkan ke tubuhnya. Darah segera memancar membasahi tirai dan terciprat ke arah kamera, diiringi teriakan teriakan gadis itu.

“Astaga!” jerit Jenna. “A ... apa kau sudah melaporkannya pada polisi?”

“Belum. Aku mencoba masuk ke rumah Jessica namun terkunci. Sepertinya orang tuanya pergi sepanjang pekan ini dan ia sendirian di rumah. Namun apa adegan ini tak mengingatkan kalian pada sesuatu?” tanya Brian.

“Psycho.” bisik Leo, “Film Alfred Hithcock yang terkenal. Ini adalah salah satu adegan dalam film itu.”

“Maksudmu kini ada yang meneror kita dengan meniru adegan2 film terkenal?” seru Theo tak percaya.



TO BE CONTINUED ....